Rabu, 17 Desember 2008

Peran Media Luar Biasa Terhadap Anak-anak Bag.2


Pada tahun 2001, The Committee on Public Education of the American Academy of Pediatrics (AAP) telah mengeluarkan pernyataan bahwa kekerasan di media berdampak pada perilaku kekerasan pada anak setelah menelaah lebih dari 3.500 penelitian.
Terkait dengan peniruan yang dilakukan anak terhadap aksi yang dilihatnya melalui media, muncul kabar dari Semarang pertengahan Januari lalu tentang peristiwa yang menimpa seorang anak yang diduga akibat meniru aksi Naruto. Revino (10 tahun), seorang anak pendiam kelas 4 SD, ditemukan tewas tergantung di kamar tidurnya (Jawa Pos dotcom 17 Januari 2008).
Revino ditemukan tergantung dalam posisi setengah berdiri. Lehernya terjerat ikat pinggang merah yang tergantung di pegangan pintu lemari pakaian. Tak ada tanda-tanda penganiayaan di tubuhnya. Polisi menduga ia tewas bunuh diri. Polisi sampai kini sedang mencari penyebab korban meninggal. Ada dugaan ia tewas karena kecelakaan saat memeragakan aksi Naruto, karena Revino dikenal suka berperan sebagai Naruto.
Sementara itu, materi-materi mistik dan seks bukanlah materi yang tepat untuk tampil dalam tayangan anak. Materi-materi tersebut adalah materi dewasa yang selayaknya baru dikonsumsi anak jika usianya sudah memadai.
Persoalannya adalah, karena bentuknya yang berupa film animasi, banyak orangtua tidak mewaspadai tayangan semacam ”Naruto” atau ”One Piece”. Karena bentuknya yang animasi, orangtua pun mengira bahwa tayangan tersebut adalah tayangan anak.
***
Banyak sekali orangtua yang membiarkan anaknya menonton tayangan (misalnya film atau sinetron) yang diposisikan sebagai tayangan anak, tanpa pernah sekali pun menonton (apalagi mencermati) tayangan tersebut. Padahal, sebagai tindakan preventif untuk menghambat efek negatif tayangan TV, orangtua seharusnya menyeleksi acara yang ditonton anak, mengatur pola menonton TV anak, dan melakukan pendampingan saat anak menonton TV.
Untuk itu semua, orangtua perlu tahu tayangan TV untuk anak itu seperti apa. Jadi, jangan hanya tahu bahwa saat ini yang sangat disukai anak adalah tayangan apa, tetapi orangtua perlu tahu tayangan itu sebenarnya bagaimana. Pengetahuan tentang bagaimana sesungguhnya tayangan anak itulah yang dapat menjadi modal bagi orangtua untuk mengatur pola interaksi anak dengan TV: selektif terhadap acara TV, anak hanya boleh menonton pada jam tertentu, dan melakukan pendampingan.
”Naruto” atau ”One Piece” adalah contoh-contoh film animasi anak dengan muatan kekerasan yang ekspresif di dalamnya. Sebagai orangtua kita dapat belajar dari kasus ini untuk mencermati tayangan anak lainnya, baik film animasi ataupun sinetron.

Tidak ada komentar: